Jumat, 29 Januari 2010
PROTEOLISIS DAN PROTEASOME
Mekanisme penterjemahan informasi genetika dari tempatnya yang tersimpan, sebagai urutan spesifik basa DNA ke dalam urutan spesifik asam amino memastikan bahwa informasi genetika bertindak terutama pada aras protein. Oleh sebab itu, kegelimangan (abundance) suatu protein merupakan indikator penting pengendalian aktifitas suatu gen secara seluler. Kegelimangan suatu protein di dalam sel ditentukan terutama oleh (1) banyaknya protein yang disintesis dan (2) banyaknya protein yang dihancurkan.
Transkripsi, translasi, dan pengendaliannya memastikan suatu protein disintesis. Pertannyaannya ialah: proses mana yang bertanggungjawab secara seluler proses penghancuran protein?
Telah lama diketahui silih-ganti (turnover) dinamik protein-protein seluler serta fungsi penting degradasi protein selektif dalam mengendalikan aras protein-protein khusus di dalam sel, namun mekanismenya menjadi sebuah rahasia untuk jangka waktu lama. Ceriteranya dimulai sejak tahun 1953, ketika Simpson 1953[1] (diikuti oleh Hershko bersama Tomkins 20 tahun kemudian, tahun 1971)[2] menduga bahwa penghancuran protein intrasel dikerjakan oleh mesin proteolitik yang membutuhkan energi seluler.
Realitas yang lebih jelas mulai terkuak ketika Etlinger dan Goldberg (1977) menggunakan pendekatan cell-free system[3] dilanjutkan dengan fraksionasi-rekonstitusi biokemis oleh Hershko dan Ciechanover (1977 - 1978); serta menunjukkan adanya sistem proteolisis bergantung ATP (ATP-dependent proteolitic activity) pada reticulocyte lysates.
Dalam pembuktian di atas, reticulocyte lysates difraksionasi pada DEAE-cellulose menjadi dua fraksi kasar: fraksi 1 yang tidak dijerap (adsorbed) dan fraksi 2 yang mengandung semua protein dijerap pada resin dan terelusi dengan kadar garam tinggi. Tujuan awal fraksionasi adalah untuk menghilangkan hemoglobin yang ada pada fraksi 1. Namun ternyata, setelah fraksionasi, fraksi 2 kehilangan aktivitas proteolitik bergantung ATP dibanding dengan lysates kasar. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan menambahkan fraksi 1 ke fraksi 2, yang ternyata memulihkan aktivitas proteolitik bergantung ATP. Komponen aktif yang terkadung di dalam fraksi 1 tersebut berhasil diisolasi (Ciechanover, et al., 1978), dan ternyata merupakan protein berukuran kecil, tahan panas. Protein tersebut dinamai APF-1 atau ATP-dependent proteolysis factor 1.
Dua tahun kemudian diketahui bahwa APF-1 adalah ubiquitin, yaitu protein yang diisolasi pertamakali tahun 1975 oleh Goldstein. Oleh Goldstein, dikira sebagai hormon thimus yang hanya terdapat pada jaringan tersebut, tetapi ternyata hadir disemua jaringan dan organisme. Sewaktu ditemukan, ubiquitin merupakan bagian dari suatu protein bercabang yang jarang ada, yang karbon ujungnya (C-terminus) bersambungan dengan gugus ε-amino dari residu lisin protein histon 2A, serta fungsinya yang belum diketahui.
——————————————————————————–
[1] Simpson, M.V., 1953. The release of Labeled amino acids from the protein of rat liver slices, J. Biol. Chem. 201;143-154.
[2] Hershko, A., and Tomkins, G. M., 1971. Studies on the degradation of tyrosine aminotransferase in hepatoma cells in culture: Influence of the composition of the medium and adenosine triphosphate dependence. J. Biol. Chem. 246:710-714.
[3] Dalam pendekatan cell-free system, komponen-komponen enzim diisolasi dan dikarakterisasi dengan metode biokimia langsung.
0 Comments:
Post a Comment